PDIP Memberi Sinyal Akan Masuk Kabinet

8 min read

PDIP Memberi Sinyal Akan Masuk Kabinet

PDIP
PDIP Memberi Sinyal Akan Masuk Kabinet

BreakingNews, PDIP – Presiden terpilih Prabowo Subianto bakal berjumpa bersama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Kabar ini hampir dipastikan kebenarannya, sebab elite kedua pihak udah mengonfirmasi. Namun, kapan waktunya, belum ada yang dapat menyebut jikalau Prabowo dan Megawati.

Pertemuan kedua tokoh nasional itu dinilai bakal mengupas sejumlah hal penting, tidak benar satunya terkait kesempatan PDIP berhimpun di dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Kemungkinan ini pun tidak dipungkiri.

Sejumlah elite PDIP udah memberi tambahan sinyal bakal berkoalisi bersama Prabowo-Gibran. Apalagi, kubu Prabowo terhitung udah terang-terangan mengajak PDIP untuk bergabung.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta PDIP dapat mendukung pemerintahan yang bakal dipimpin Prabowo Subianto pada periode 2024-2029. Hal ini penting supaya pemerintahan dapat berlangsung secara efektif.

“Kita mengidamkan supaya pemerintahan Pak Prabowo-Gibran lebih efektif dan keadaan lebih kondusif, kerukunan, persahabatan dapat tercipta. Karena itu, kekuatan parpol sebanyak-banyaknya bisa saja bakal kami rangkul dan dekati untuk menciptakan keadaan politik yang lebih kondusif dan baik,” kata Muzani kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.

Menurut Muzani, bergabungnya partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu, dikehendaki dapat menciptakan ketenangan di tengah masyarakat, bersama begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat lebih baik.

“Supaya pemerintahannya lebih tenang, rakyatnya dapat lebih tenang. Sehingga, ada pertumbuhan ekonomi lebih baik, ada pergerakan masyarakat yang lebih baik, lebih optimis dan lebih percaya menatap era depan,” ujar Muzani.

Ketua DPP PDIP Puan Maharani pun tunjukkan tidak menutup bisa saja partainya berhimpun di kabinet Prabowo-Gibran. “Semuanya tidak ada yang tidak mungkin. Mungkin saja (berkoalisi),” ujar Puan di Hotel Shangri La, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 September 2024.

Meski begitu, Puan menyadari, koalisi atau tidaknya PDIP ke pemerintahan ke depan tergantung pada ketetapan hasil pertemuan pada Prabowo dan Megawati. “(Keputusan gabung kabinet) nanti baru diketahui sehabis pertemuan,” ucap Puan.

Pertemuan Megawati bersama Prabowo sendiri belum diketahui tentu kapan digelar. Namun, Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyatakan, sebagai gambaran, pertemuan ketua umum partai politik itu bakal dikerjakan sebelum akan pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024.

“Pertemuan Ibu Ketua Umum bersama Bapak Prabowo, Presiden terpilih, ini sekedar menunggu momentum hari-hari. Karena pelantikan tanggal 20 Oktober udah di depan mata kami bersama,” kata Said kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.

“Kita semua bersiap-siap untuk menyambut Presiden terpilih dilantik tanggal 20 Oktober. Dan insyaallah, sebelum akan pelantikan, Ibu Megawati bakal berjumpa bersama Bapak Prabowo,” sambungnya.

PDIP Berkoalisi atau Oposisi?

Bertemunya Megawati bersama Prabowo, kemudian membangkitkan pertanyaan. Apakah PDIP bakal berkoalisi atau jadi oposisi? Hal ini wajar. Sebab, semua partai politik yang ada di parlemen, udah masuk ke gerbong Prabowo. Tinggal PDIP yang hingga pas ini belum memastikan sikap politik untuk lima tahun ke depan.

Pengamat politik berasal dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, yakin partai banteng moncong putih bakal masuk ke di dalam barisan kekuasaan di pemerintahan Prabowo-Gibran. Ujang lihat banyak indikasi menguatkan prediksinya itu.

“Saya sih lihatnya iya, mereka masuk koalisi Prabowo-Gibran. Indikasinya, misalkan Undang-Undang MD3 kan enggak ada. Kalau Undang-Undang MD3-nya jalan, kan PDIP tidak nyaman, dapat disita ketua DPR-nya oleh KIM. Tapi kan tidak. KIM membiarkan, koalisi Prabowo-Gibran membebaskan Puan jadi ketua DPR lagi. Aman, tidak ada revisi UU MD3-nya,” ujar Ujang kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024.

Indikasi lainnya yakni soal anggaran penambahan nomenklatur kementerian di dalam Undang-Undang Kementerian Negara yang jumlah kementeriannya ditambah. Dalam hal ini, kata Ujang, Ketua Badan Anggaran berasal dari PDIP Said Abdullah menyatakan tidak mempermasalahkan besaran anggarannya.

“Maka itu, kan PDIP menerima banyak hal, dan diuntungkan juga. Oleh sebab itu aku lihat berasal dari indikasi-indikasi itu, dapat saja PDIP masuk pemerintahan Prabowo. Di awal, atau nanti di tengah jalan. Kita menunggu saja. Tapi soal pembagian PDIP masuk kabinet, aku sih melihatnya 80 prosen dapat saja terjadi,” tuturnya.

Senada, M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, lihat kesempatan PDIP merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran terbuka lebar.

“Sebab, di dalam politik kesempatan itu tetap terbuka andaikan ada kepentingan yang sama di pada kedua belah pihak,” ujar Jamil kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024

Sementara itu, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menilai ada sebagian segi yang memicu PDIP susah berhimpun ke di dalam kabinet Prabowo-Gibran.

“Pertama, segi sejarah. Orde lama versus orde baru. Soekarno versus Soeharto. Dan kami tahu, ada Titiek Soeharto bersama Prabowo,” ungkap R Haidar Alwi.

Haidar meyakini, orde baru merupakan memori kelam yang benar-benar membekas di dalam ingatan Megawati Soekarnoputri. Baik pada era mulanya dikala Soeharto duduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno, maupun pada selanjutnya pas Megawati berperan di dalam reformasi tumbangnya orde baru.

Jokowi dan Gibran Jadi Ganjalan

Tak hanya itu, segi Jokowi dan Gibran terhitung jadi batu ganjalan bagi Megawati dan PDIP untuk berkoalisi bersama pemerintahan Prabowo.

Menurut Haidar, bagi PDIP, Jokowi dan Gibran merupakan pengkhianat. Pengkhianatan Jokowi dan keluarganya kepada PDIP puncaknya berlangsung pas Pemilu 2024 yakni dikala Gibran mencalonkan diri jadi cawapres untuk mendampingi Prabowo.

Otomatis, Jokowi dan keluarganya mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sementara, PDIP dikala itu mengusung calon sendiri yakni Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Hingga akhirnya, Jokowi dan keluarganya dikeluarkan sebagai kader PDIP.

“Bagi Megawati dan PDIP, semua itu bisa saja berbau pengkhianatan,” ujar Haidar.

Senada, Jamiluddin menilai, meski terbuka bagi PDIP untuk berkoalisi bersama Prabowo, tapi kesempatan itu dapat jadi kecil sebab ada segi Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka.

“Peluang itu tampaknya relatif kecil sepanjang tetap ada Gibran dan Jokowi di kubu Prabowo. Sebab, kasus PDIP bukan kepada Prabowo, tapi kepada Gibran dan Jokowi. Megawati tampaknya tidak bakal mau bersama bersama Prabowo sepanjang ada Jokowi dan Gibran, yang dinilainya pengkhianat,” kata Jamil.

Hal itu, menurut Jamil, benar-benar prinsip bagi Megawati, yang dikenal begitu utamakan ideologi di dalam berpartai ketimbang pragmatisme. “Namun bisa saja itu dapat saja berlangsung sebaliknya andaikan Megawati berubah jadi sosok pragmatis,” kata Jamil.

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai soal bisa saja PDIP berkoalisi bersama Prabowo, syaratnya ada dua. Pertama, perlu dipastikan dulu, apakah benar Prabowo mengajak PDIP untuk jadi anggota kekuasaan politik pemerintah ke depan. Kedua, jikalau itu ada, apakah PDIP mau atau tidak berhimpun bersama koalisi Prabowo.

“Dua hal itu perlu dipastikan. Jangan hingga yang keluar itu tidak terkonfirmasi. Jangan-jangan misalnya, Prabowo mengajak PDIP masuk, tapi PDIP tetap belum tertarik berhimpun sebab segi misalnya, Jokowi tetap benar-benar dekat bersama Prabowo. Atau sebab segi Gibran yang pas ini dilihat sebagai replika politknya Jokowi,” ujar Adi kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024.

Adi melihat, hingga pas ini, tetap ada jarak psikologis yang jadi tembok besar bagi PDIP untuk berhimpun bersama Prabowo. Faktor Jokowi dan Gibran yang benar-benar kental.

“Kalau bersama Prabowo sih sepertinya enggak ada soal. Karena di situ tetap ada segi Jokowi, terhitung ada Gibran yang sepertinya tetap menghambat PDIP yang kemudian tidak serta merta tertarik berhimpun bersama Prabowo,” kata Adi.

Presiden Jokowi sendiri udah mengemukakan tanggapannya terkait bisa saja PDIP berhimpun ke kabinet Prabowo-Gibran. Jokowi menyatakan komposisi menteri kabinet pemerintahan seterusnya merupakan hak prerogatif Prabowo sebagai presiden.

“Ditanyakan kepada Presiden terpilih, kewenangan itu hak prerogatif presiden,” kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, 21 September 2024.

Jokowi tidak mempersoalkan andaikan nantinya kabinet Prabowo Subianto gemuk sebab memiliki banyak menteri. “Itu hak prerogatif presiden terpilih,” ucap Jokowi.

Negara Demokrasi Tanpa Oposisi

Semua partai politik udah berhimpun ke di dalam koalisi kekuasaan. Tinggal PDI Perjuangan yang belum masuk ke koalisi Prabowo-Gibran. Itu pun tergantung pertemuan Prabowo bersama Megawati, yang dinilai banyak pihak bakal mengupas tentang koalisi untuk lima tahun ke depan.

Jika PDIP tertarik untuk diajak berhimpun ke di dalam kekuasaan pemerintah, maka dipastikan tidak ada oposisi. Fungsi DPR sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah tidak berjalan. Demokrasi di negara ini pun tidak sehat.

“Bisa dipastikan, kabar oposisi di DPR, Senayan, wasalam. Karena tak ada partai yang berada di luar kekuasaan. Bahwa DPR itu semestinya check and balance, ya, tidak dapat dibantah. Tapi di negara ini jikalau udah berkoalisi bersama pemerintah, berkoalisi bersama pemenang, fungsi check and balance di DPR itu tidak berfungsi, tidak berguna,” kata pengamat politik Adi Prayitno.

Sehingga, apa pun product kebijakan berasal dari pemerintah, tidak bakal mendapat halangan di DPR. “Karena tidak mungkin di parlemen bakal berlangsung protes atau penolakan terkait bersama kebijakan pemerintah, pas partainya berhimpun bersama pemerintah,” Adi menambahkan.

Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, jikalau PDIP berhimpun bersama Prabowo-Gibran, maka rakyat tidak dapat lagi meminta pada DPR.

“Tentu ini jadi evaluasi kami semua bahwa partai-partai itu semuanya mengidamkan masuk pemerintahan, semuanya mengidamkan berkuasa, semuanya mengidamkan jabatan, semuanya happy. Elite-elite itu semuanya happy, rakyat ditinggalkan,” kata Ujang.

Jika udah tidak ada lagi partai di luar kekuasaan, maka yang sangat mungkin adalah rakyat sendiri yang berperan sebagai oposisi. Namun, check and balance-nya dikerjakan di luar parlemen.

“Mungkin nanti yang beroposisi ini adalah akademisi, para pengamat, mahasiswa, rakyat. Oposisinya oposisi nonparlemen, di luar parlemen. Jadi oposisi tidak dikerjakan oleh partai politik, tapi oleh rakyat. Kelihatannya layaknya itu dikala di parlemennya tidak ada oposisi,” tuturnya.

“PDIP yang semestinya bersikap sebagai oposisi, ternyata tergoda terhitung masuk ke pemerintahan. Rakyat bakal menilai bahwa tidak ada yang berani jadi oposisi. Padahal PDIP di dalam sejarahnya memiliki keberanian untuk jadi oposisi, tapi di pemerintahan ke depan berkoalisi,” Ujang menambahkan.

Jamiluddin Ritonga menilai jikalau PDIP berkoalisi bersama pemerintahan Prabowo, bakal berlangsung kemunduran demokrasi. Sebab, tidak ada satu pun partai parlemen yang jadi oposisi, untuk menjalankan fungsi check and balance.

“Tentu hal ini jadi tragedi nasional. Disebut tragedi, sebab benar-benar ironi di negara demokrasi tidak ada oposisi. Karena itu, bakal berlangsung bencana demokrasi di Tanah Air. Sebab, tanpa oposisi, Indonesia bakal kehilangan esensi demokrasi. Indonesia hanya berlabel demokrasi, tapi praktiknya udah jadi negara otoriter,” kata Jamil.

You May Also Like

More From Author